Minggu, 29 Desember 2013

Negri Makmur Tanpa Pajak dan Hutang, Mungkinkah?

Negeri Makmur Tanpa Pajak dan Tanpa Hutang, Mungkinkah ?

Pasti bukan kebetulan kalau negara-negara besar di dunia membiayai belanja negaranya dengan hutang, karena mereka hidup besar pasak dari tiang. Amerika misalnya berhutang sekitar 31 % dari pendapatannya, Jepang 21 %, Inggris 17 %, Canada 12%, Perancis 10%, Italy 8% dan Jerman 2 %. Hanya negara kecil atau yang kaya sumber daya alam yang mengalami surplus dalam anggarannya seperti Kuwait 52 %, Norwegia 25 % dan UAE 16 %.  Bagaimana dengan kita ?

Kita termasuk lumayan besar deficit anggarannya. Tahun 2013 ini dari Rp 1,502 trilyun pendapatan dan Rp 1,726 trilyun belanja, kita deficit 224 trilyun atau sekitar 15%. Tahun 2014 diharapkan membaik, dari Rp 1,663 trilyun pendapatan dan Rp 1,817 trilyun belanja, deficit kita tinggal  Rp 154 trilyun atau ‘hanya’ 9 %.

Tentu angka-angka perkiraan ini masih sangat mungkin meleset pada saat realisasinya karena sejumlah faktor seperti kenaikan harga minyak dunia, perubahan nilai tukar Rupiah dlsb.

Yang menarik adalah negara-negara maju – termasuk kita- yang sulit sekali meninggalkan gaya hidup besar pasak dari tiang seperti ini, ternyata punya perilaku yang sama – yaitu ketergantungannya pada pendapatan yang berupa pajak. Amerika yang defisitnya terbesar tersebut misalnya, 96 % pendapatannya dari pajak. Sedangkan kita yang defisitnya hanya 9 % - 15 %, tingkat ketergantungan pajak kita memang lebih rendah yaitu hanya 76 % pendapatan dari pajak (2013), dan menjadi sekitar 79 % pendapatan dari pajak tahun 2014.

Jadi bolehkah kita korelasikan bahwa semakin tinggi suatu negeri mengandalkan pajak sebagai pendapatan, malah semakin deficit mereka ? kalau sample-nya hanya Amerika dan Indonesia, nampaknya korelasi tersebut benar adanya. Barangkali perlu diuji lagi untuk seluruh negara-negara di dunia dan dipelajari korelasi pajak ini dengan deficit – yang juga berarti hutang, korelasi dengan kemakmuran dlsb.

Apa dampaknya bila negeri terus berhutang karena kemampuan membiayai belanjanya semakin tidak tercukupi oleh pendapatan pajaknya ? Sudah bisa ditebak hasilnya, negeri itu cepat atau lambat pasti akan bangkrut. Negara adikuasa dunia modern-pun Amerika Serikat dua bulan lalu nyaris bangkrut ketika pemerintah dan congress-nya bersitegang dengan masalah anggaran belanja dan pendapatan yang mengandalkan pajak ini.

Sejarah di masa lalu juga menunjukkan pelajaran yang sama, saya kutipkan dari tulisan Ustadz Budi Ashari – yang mengambil rujukan dari Ashr al Khilafah Ar Rasyidah-nya Prof . Dr. Akram Dhiya’ tentang kejatuhan Romawi sebagi berikut : “Adapun keadaan ekonominya, riba dan penimbunan adalah merupakan asas aturannya.Kaisar Heraklius mewajibkan pajak-pajak baru terhadap penduduk wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi, untuk menutup hutang besar pembiayaan perang dengan Persia.

Emperium Bizantium mengalami penurunan drastis disebabkan oleh semakin besarnya berbagai pungutan dan pajak. Penurunan pada aktifitas bisnis, diabaikannya sektor pertanian dan semakin berkurangnya bangunan-bangunan.”


Ustadz Budi juga melengkapi tulisannya tentang dampak pajak pada ekonomi  masyarakat, merujuk analisa Ibnu Khaldun sebagi berikut : “Perlakuan tidak baik terhadap harta masyarakat, akan melenyapkan harapan mereka dalam mengembangkan harta mereka. Karena mereka sadar, ujungnya uang mereka akan hilang dari tangan. Jika ini terjadi, maka mereka akan cenderung menahan diri untuk berkarya. Tergantung seberapa besar kedzaliman terhadap mereka, sebesar itulah mereka menahan diri dari pengembangan harta. Maka rugilah pasar-pasar, gedung-gedung dan rusaklah keadaan.....kedzaliman terhadap harta masyarakat, kehormatan, darah dan rahasia mereka menyebabkan keguncangan dan kerusakan sekaligus. Negara pun runtuh dengan cepat”.

Lantas apakah pajak ini tidak boleh dalam Islam ? ulama-ulama dari perbagai mazhab memiliki pendapat yang berbeda-beda, namun benang merahnya kurang lebih adalah boleh tetapi bersyarat.

Syarat itu antara lain adalah  bila dana baitul mal tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan negara seperti perang dan kebutuhan lain yang jelas peruntukannya, adil penerapannya, penggunaannya untuk maslahah umat dan bukan maksiat, dan ada persetujuan dari orang-orang yang berkompten di bidangnya – diluar pemerintah – agar ada kontrol terhadap penerapan pajak oleh pemerintah.

Terlepas dari diperbolehkannya pajak tetapi bersyarat tersebut, pertanyaannya adalah mungkinkah membangun negeri seperti kita di zaman ini tanpa atau dengan mengurangi ketergantungan terhadap pajak ? Jawabannya adalah mungkin.

Saya ambil contoh konkrit scenario biaya kesehatan – yang di Amerika nyaris menjaditrigger kebangkrutan negeri itu dua bulan lalu, yang kemudian di Indonesia juga ada skenarionya yang mirip dengan JKN-nya.

Dalam scenario JKN, orang-orang yang mampu wajib dipungut iuran untuk menjadi peserta JKN. Orang-orang yang tidak mampu iurannya dibayar oleh pemerintah. Lantas dari mana uang pemerintah untuk membayari iuran orang yang tidak mampu tersebut ? terbesarnya ya dari pajak pastinya – karena mayoritas pendapatan kita memang masih dari pajak.

Bandingkan ini dengan scenario solusi syariah yang saya sebut TAWAF (Ta’awun dan Wakaf)dengan pendekatan ini orang yang mampu bertolong menolong satu sama lain (Ta’awun) sedangkan yang tidak mampu didanai dari hasil kegiatan Wakaf.

Lho apa bedanya bagi rakyat ?, pajak ujungnya juga uang rakyat, sedangkan wakaf juga dari rakyat.

Bedanya adalah di niat dan pengaruhnya pada keikhlasan masyarakat dalam mengeluarkan hartanya. Meskipun sedikit, orang bisa tidak rela bila dipaksa membayar seperti membayar pajak – sehingga banyak yang berusaha menghindarinya.

Sebaliknya meskipun sangat banyak, orang tidak keberatan untuk menginfaqkan atau mewakafkan hartanya untuk kemaslahatan umat secara sukarela tanpa ada yang perlu memaksanya.

Apalagi orang-orang yang menyadari keberkahan prinsip 1/3 yang saya perkenalkan melalui dua tulisan (27/8/13 dan 22/11/08). Mereka akan sukarela mengeluarkan sepertiga penghasilannya, demi untuk memperoleh keberkahan dari penghasilannya. Padahal ketika ditarik kurang lebih sejumlah yang sama untuk pajak mereka teriak-teriak keberatan.

Konsep yang sama dengan TAWAF tersebut sangat mungkin diaplikasikan untuk mengatasi bencana alam, resiko sosial, membiayai perang, membangun fasilitas-fasilitas umum seperti pasar, rumah sakit, jalan dlsb.

Walhasil banyak jalan untuk membiayai berbagai kepentingan umat, dengan cara yang umat paling ridlo untuk melakukannya. Baik itu memalui dana Ta’awun dan Wakaf (TAWAF) maupun Infaq, Shadaqah dan Zakat.

Ketika umat ini ridlo, insyaAllah Allah-pun ridlo dan negeri ini akan lebih berkah, deficit anggarannya bisa dihindari dan artinya negeri ini juga akan bebas dari hutang.

Dalam sejarah Islam, penghapusan pajak ini pernah terjadi di masa Nuruddin Az Zenky ketika tahun 566 H mengumumkan pencabutan pajak – yang saat itu di sebagian wilayah sudah terkena pajak 45% - yang kemudian pengumuman pencabutannya di bacakan di seluruh masjid-masjid. Bunyi pengumuman itu adalah sbb :

Kami rela dengan harta yang sedikit tapi halal, celakalah harta haram itu, sungguh celaka. Jauh dari ridho Robb. Kami telah istikhoroh kepada Allah dan mendekatkan diri kepada Nya dengan menghapus segala bentuk pungutan dan pajak di semua wilayah; yang dekat ataupun yang jauh. Menghilangkan semua jalan buruk, meniadakan setiap kedzaliman dan menghidupkan setiap sunnah (jalan) yang baik...lebih memilih balasan di kemudian hari di bandingkan kehancuran yang segera.

Tulisan ini saya buat bukan bermaksud men-discourage orang untuk membayar pajak, tetapi sebaliknya yaitu memberi view lain pada para (calon) penguasa negeri ini– bahwa suatu negeri bisa makmur tanpa pajak dan tanpa hutang.

Kalau saja ada kontestan pemilu 2014 nanti yang mau memnggunakan strategy memakmurkan negeri tanpa pajak dan tanpa hutang – saya yakin dia akan langsung menang karena rakyat akan ridlo dengannya.

Maka saya menunggu suatu saat nanti, pengumuman seperti pengumumannya Az Zenky tersebut dibacakan oleh wakil-wakil penguasa negeri ini di masjid-masjid di sekitar kita. Kemudian ketika khatib-khatib naik mimbar, mereka rame-rame menyerukan utamanya umat untuk ber-ta’awun, berinfaq, shadaqah, zakat dan wakaf. Maka sumber ke-(tidak)-makmuran umat dari pajak akan segera tergantikan oleh sumber-sumber kemakmuran dari dana-dana TAWAF maupun ZISWAF, InsyaAllah.

geraidinar.com 

Intisari Ekonomi Umat...

9 x 3 KPI : Intisari Ekonomi Umat …

Key Performance Indicators (KPI) atau indikator kinerja kunci adalah salah satu jenis tolok ukur untuk mengetahui seberapa jauh suatu usaha mencapai tujuannya. Tetapi karena mayoritas usaha bertujuan untuk mencapai keuntungan duniawi semata, pendekatan standar KPI yang ada di dunia usaha umumnya tidak sejalan dengan tujuan hidup yang sesungguhnya dari para pelaku usaha itu sendiri – bila dia seorang mukmin. Lantas seperti apa KPI usaha yang Islami itu ? berikut adalah di antara indikator-indikatornya yang saya kumpulkan dari berbagai sumber,  utamanya tentu dari Al-Qur’an dan Al-hadits.

Ada setidaknya 27 indicators yang saya kelompokkan dalam 9 bidang, masing-masing bidang ada 3 indicators sehingga pendekatan ini saya sebut 9 x 3 KPI.


Fondasi Usaha
3 Fondasi Usaha



Fondasi usahanya harus dilandaskan pada 3 hal yaitu  ke-Imanan, Ketakwaan dan Amal Shaleh. Hanya Iman dan Takwa yang akan menghadirkan keberkahan  ( QS 7 : 96), sedangkan kombinasi Iman dan Amal Shaleh akan menjadikan penguasa di muka bumi ( QS 24 :55). Aplikasi dua ayat ini dalam bidang usaha akan menghadirkan keberkahan dalam usaha itu dan membuatnya memimpin di bidangnya.

Fondasi ini yang akan membedakan usaha seorang mukmin dengan usaha-usaha pada umumnya. Bila usaha pada umumnya didorong untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya dan sangat ketakutan untuk bangkrut dan jatuh miskin, pendorong usaha seorang mukmin adalah keinginannya yang sangat untuk memperoleh ampunan Allah dan karuniaNya (QS 2 : 268).

Pelaku usaha pada umumnya bekerja jungkir balik siang dan malam untuk menumpuk harta, sedangkan yang beriman bekerja keras di siang hari dan bangun malam di kala orang lain tidur – untuk mohon ampunan dan karuniaNya.


Jenis-jenis Transaksi
3 Jenis Transaski



Ada tiga jenis transaksi utama dalam dunia usaha, hanya satu yang sangat terlarang yaitu Riba dan akan dimusnahkan oleh Allah  (QS 2 :275; 2 : 276), yang lainnya halal yaitu Jual-Beli (QS 2 : 275) dan bahkan satu lagi dijanjikan kesuburannya oleh Allah yaitu Sedekah ( QS 2 : 276).

Logikanya seorang pengusaha mukmin pasti akan berlari sejauhnya dari Riba karena selain sangat terlarang juga akan membawa kehancuran usahanya. Sebaliknya pengusaha mukmin akan aktif menghidup-hidupkan berbagai jenis jual beli – menghidupkan pasar – yang berarti menghadirkan kemakmuran bukan hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga orang lain. Bahkan juga pengusaha yang beriman akan banyak-banyak bersedekah, memutar hartanya bukan hannya karena pertimbangan ekonomi , tetapi juga pertimbangan sosial.


Hukum Harta
3 Hukum Harta



Pelaku yang beriman pastinya dia juga tahu dan patuh hukum-hukum harta yang 3 yaitu harta yang sangat dilarang bila di ditimbun – Yaknizun ( QS 9 : 34), diijinkan secukupnya menyimpan bila itu dalam konteks ketahanan usahanya – Yukhsinun ( QS 12 :48) dan tidak ada batasan bila harta itu berputar di jalan Allah – Duulah ( QS 59 :7).

Harta yang ditimbun (Yaknizun) adalah harta yang disimpan untuk mencari keuntungan semata – padahal harta itu dibutuhkan oleh umat yang banyak, yang ini sedikitpun tidak boleh jadi harus ditekan sampai habis. Sedangkan harta yang disimpan untuk ketahanan usaha (Yukhsinun) boleh dilakukan secukupnya untuk maksud tersebut, misalnya suatu usaha perlu dana simpanan jangka panjang untuk membayari pesangon karyawannya yang pensiun, dana untuk penggantian mesin, dana pengembangan usaha dlsb.

Diluar yang dua hal tersebut, harta yang berputar di jalan Allah tidak ada batasannya, sebanyaknya-pun boleh.



Jenis-jenis Aset
3 Jenis Aset




Pelaku yang beriman dari waktu ke waktu mampu meningkatkan kwalitas asetnya dari aset-aset yang menurunkan kwalitas kemakmuran ( Wealth Reducing Assets) , menuju aset-aset yang mampu mempertahankan kemakmuran (Wealth Preserving Assets) dan akhirnya aset-aset yang meningkatkan kemakmuran (Wealth Producing Assets).

Aset yang menurunkan kwalitas kemakmuran adalah segala jenis aset kertas yang nilainya tergerus inflasi. Aset yang mampu mempertahankan kemakmuran adalah aset yang nilainya mampu mempertahankan daya belinya, sedangkan aset yang meningkatkan kemakmuran adalah seluruh jenis aset – utamanya aset yang berputar – yang nilainya terus tumbuh dan berkembang secara riil bukan sekedar angka.


Jenis-jenis Pengeluaran
3 Jenis Pengeluaran



Pelaku usaha mukmin yang bisa mengendalikan pengeluarannya secara berimbang untuk tiga keperluan yaitu Konsumi, Investasi dan Sedekah – dia akan ditolong oleh Allah dengan ‘hujan khusus’ – yaitu pertolong yang datang khusus kepadanya – tidak kepada orang lain.

Dasarnya adalah hadits hadits Rasulullah SAW yang panjang sebagai berikut : Dari Abu Hurairah RA, dari nabi SAW, beliau bersabda, “ Pada suatu hari seorang laki-laki berjalan-jalan di tanah lapang, lantas mendengar suara dari awan :” Hujanilah kebun Fulan.” (suara tersebut bukan dari suara jin atau manusia, tapi dari sebagian malaikat). Lantas awan itu berjalan di ufuk langit, lantas menuangkan airnya di tanah yang berbatu hitam. Tiba-tiba parit itu penuh dengan air. Laki-laki itu meneliti air (dia ikuti ke mana air itu berjalan). Lantas dia melihat laki-laki yang sedang berdiri di kebunnya. Dia memindahkan air dengan sekopnya. Laki-laki (yang berjalan tadi) bertanya kepada pemilik kebun : “wahai Abdullah (hamba Allah), siapakah namamu ?”, pemilik kebun menjawab: “Fulan- yaitu nama yang dia dengar di awan tadi”. Pemilik kebun bertanya: “Wahai hambah Allah, mengapa engkau bertanya tentang namaku ?”. Dia menjawab, “ Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang inilah airnya. Suara itu menyatakan : Siramlah kebun Fulan – namamu-. Apa yang engkau lakukan terhadap kebun ini ?”. Pemilik kebun menjawab :”Bila kamu berkata demikian, sesungguhnya aku menggunakan hasilnya untuk bersedekah sepertiganya. Aku dan keluargaku memakan daripadanya sepertiganya, dan yang sepertiganya kukembalikan ke sini (sebagai modal penanamannya)”. (HR. Muslim).



Kebutuhan Pokok
3 Kebutuhan Pokok



Pelaku usaha yang beriman hendaknya bersyirkah dalam tiga urusan pokok manusia yaitu Pangan – Energi dan Air. Dasarnya adalah hadits : Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal padang rumput, air dan api” (Sunan Abu Daud, no 3745)

Padang rumput dalam hadits tersebut di atas adalah mewakili lahan penggembalaan – yang kemudian menghasilkan daging dan susu (pangan), air adalah tentang pengelolaan mata air untuk kepentingan bersama dan api adalah yang di bahasa kita sekarang energi.

Tiga hal tersebut Pangan, Energi dan Air atau yang biasa disebut FEW (Food, Energy and Water) harus diupayakan secara maksimal untuk dikelola secara bersyirkah antara seluruh kekuatan umat ini – agar tiga kebutuhan dasar tersebut tidak dikuasai oleh orang lain yang membuat umat tergantung pada supply mereka.

Bisa saja umat ini memiliki berbagai usaha besar yang sukses, bila tiga hal kebutuhan pokok tersebut tidak dikuasai oleh umat ini, maka ketergantungan terhadap orang-orang diluar Islam bisa setiap saat melemahkan kekuatan umat. Saat inipun sudah terjadi ketika urusan obat (bagian dari kelompok pangan) kita serahkan ke orang di luar Islam – ternyata 99.3 % obat yang ada di pasaran tidak terjamin kehalalannya.


Pilar-pilar Ekonomi
3 Pilar Ekonomi



Secara bersama-sama, pelaku usaha dan masyarakat dari umat ini harus menguasai tiga pilar kekuatan ekonomi yaitu Pasar, Produksi dan Modal. Umat ini memiliki system pasar yang sangat unggul yang pernah menumbangkan dominasi pasar Yahudi di Madinah dalam tempo kurang dari sepuluh tahun. Bila system pasar Islam yang bercirikan falaa yuntaqoshonna wa laa yudrabanna (jangan dipersempit dan jangan dibebabni) dan diawasai oleh pengawas pasar (Muhtasib) – ini berkembang di kalangan umat, niscaya umat akan memiliki lokomotif kemakmurannya.

Bila pasar yang menjadi lokomotif kemakmuran dikuasai oleh umat, maka gerbong-gerbong kemakmuran berikutnya akan mudah ditarik yaitu produksi barang-barang dan jasa untuk memenuhi berbagai kebutuhan umat ini. Bila pasar dan produksi dikuasai, maka modal akan datang dengan sendirinya.


Sumber-sumber Pendanaan
3 Sumber Pendanaan



Umat ini memiliki seluruh sumber-sumber pendanaan yang insyaAllah selalu akan ada yang cocok untuk setiap keperluan umat. Sumber pendanaan ini secara umum terbagi dalam tiga bagian yaitu Social, Commercial dan Accidental.

Keperluan sosial atau yang memenuhi hajat hidup orang banyak seperti pasar, rumah sakit, sekolah, jalan raya, santunan fakir miskin dlsb – sumber pendanaannya yang utama adalah ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah dan Wakaf).

Untuk keperluan commercial seperti modal usaha dagang dlsb., sumber utamanya adalah syirkah, mudharabah, qirad dan berbagai bentuk akad-akad syirkah lainnya. Untuk keperluan yang bersifat accidental seperti menghadapi musibah bencana alam, kegagalan usaha dlb., umat ini punya konsep aaqilah, Ta’awun dlsb.

Bila sumber-sumber pendanaan berbagai keperluan umat tersebut dihidupkan dengan institusi-institusi yang sesuai, maka niscaya umat ini tidak akan kekurangan sumber pendanaan untuk memajukan perekonomiannya.




Implementation Plan
3 Yang Diperlukan Untuk Implementasi



Semua keunggulan-keunggulan di atas tidak ada artinya bila tidak diamalkan atau diimplementasikan di lapangan dalam bentuk amal nyata. Untuk implementasi ini setidaknya dibutuhkan tiga hal yaitu Strategi, Operasionalisasi dan Orang (SOP – Strategy, Operationalization and People).

Strategy utama yang amat sangat dibutuhkan untuk umat saat ini adalah bagaimana kita bisa berjuang dalam ‘ barisan yang teratur , seakan –akan seperti bangunan yang tersusun kokoh ‘ (QS 61 :4). Setiap diri kita harus bisa menjadi bagian pagar – yang mencegah umat lain masuk dan mengobok-obokkepentingan umat. Seperti sangkar burung, bila satu jari-jari saja patah – burung bisa terbang keluar, maka demikianlah pentingnya umat ini untuk merapatkan barisan di setiap aspek kehidupannya – termasuk juga dalam bermuamalah.
Setiap diri kita adalah batu bata dari bangunan Islam, maka hendaklah kita berperan untuk menjadi batu bata terbaik di bidang kita masing-masing,  sehingga secara bersama-sama kita menjadi bangunan yang tersusun kokoh dan indah.

Untuk operasionalisasinya- umat inipun punya standar yang sangat tinggi yang disebut Ikhsan, bila kita memfokuskan karya kita untuk menjadi yang terbaik dalam bidangnya – jauh melebihi yang standar, maka tidak ada yang kita perlu kawatirkan balasannya – karena Allah sendirilah yang menjanjikan balasanNya “ Tidak ada balasan untuk sesuatu yang ikhsan kecuali yang ikhsan pula” (QS 55 :60)

Seperti apa orang-orang yang bisa melakukan implementasi project-project usaha keumatan ini dalam suatu barisan yang rapat dan dengan kwalitas kerja yang ikhsan – jauh melebihi yang sekedar standar ?, itulah orang-orang yang Qawiyyun Amin Hafidzun ‘Alim (QAHA – QS 28:26 dan QS 12 :55) yaitu yang kuat (dalam bahasa sekarang professional dan competent di bidangnya), amanah, pandai memelihara/menjaga (baik kemampuan manajerialnya) dan tentu juga berilmu yang lebih dari cukup dibidangnya.


Dengan memahami intisai berupa indikator-indikator kinerja kunci bagi ekonomi umat tersebut di atas dan juga kemudian secara sungguh-sungguh dan bersama-sama kita meng-implementasikannya, maka insyaAllah waktunya tidak lama lagi sebelum umat ini kembali berjaya di segala bidang  termasuk di bidang ekonomi ini. InsyaAllah.

geraidinar.com